Pahlawan Korupsi
Published on: Minggu, 30 Desember 2012 //
Redaksi
Korupsi di negeri ini memang luar biasa. Sedemikian luar biasanya
sehingga KPK dan lembaga kepolisian harus bertengkar sendiri secara
terbuka tentang bagaimana cara menangani anggotanya yang diduga
melakukan korupsi. Andaikan sejak dini
anak-anak negeri ini sudah dibiasakan taat pada aturan demi kebaikan
bersama, tentu saat ini kita relatif bebas dari korupsi. Itulah salah
satu substansi pesan hasil penelitian Kohlberg tentang perkembangan
moral.
Penelitian Kohlberg sampai pada kesimpulan bahwa pada awalnya manusia berbuat baik karena dua kemungkinan alasan: takut dihukum atau ingin mendapatkan penghargaan. Pada tahap berikutnya, manusia berbuat baik karena loyal pada kelompok atau tokoh tertentu. Bila dua tahap tersebut dilewati secara konsisten, pada gilirannya manusia akan berbuat baik, bukan karena takut dihukum atau ingin mendapatkan penghargaan, bukan juga karena meniru kelompok atau tokoh tertentu, melainkan semata-mata karena sadar bahwa kebaikan itu harus dilakukan demi kehidupan bersama yang lebih baik. Singkatnya, hukuman, penghargaan, teladan, dan kajian akademis terhadap nilai moral merupakan alat hierarkis pendidikan moral, termasuk pendidikan antikorupsi.
Bertolak dari kerangka teori hierarki perkembangan moral versi Kohlberg, dapat disimpulkan bahwa korupsi yang merajalela di negeri ini bersumber dari minimnya penegakan aturan secara konsisten sejak dini. Benarkah demikian?
Kalau kita cermati realitas kehidupan sehari-hari, amat mudah ditemukan perilaku melanggar aturan yang dilakukan oleh berbagai pihak di negeri ini. Jalan raya adalah cermin wajah kita dalam hal taat pada aturan. Tidak sulit kita temukan orang tua saat mengantar anaknya ke sekolah memakai mobil, entah mobil berharga milyaran atau puluhan juta rupiah, yang melanggar rambu-rambu lalu lintas, dan tak jarang sambil mengoperasikan telepon. Lalu, bagaimana mungkin orang tua dapat bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya secara konsisten tentang aturan berlalu lintas dan aturan lainnya, kalau ia sendiri mengantar si anak ke sekolah sambil melanggar aturan berlalu lintas?
Masih tentang berkendaraan, di pinggiran kota sangat mudah dijumpai orang tua melatih anaknya yang masih ingusan mengendarai sepeda motor, biasanya tanpa memakai helm dan hasilnya luar biasa. Para orang tua yang tidak bertanggung jawab tersebut sukses besar. Setiap hari libur, jalan-jalan di pinggir kota dipenuhi oleh anak-anak ingusan bersepeda motor, tanpa memakai helm, umumnya berboncengan bisa sampai empat orang dengan kecepatan mencengangkan, ada pula yang sambil mengoperasikan HP.
Aturan berkendaraan di jalan raya adalah aturan untuk kepentingan keamanan diri sendiri, tetapi pelaksanaannya dengan sendirinya akan bermanfaat bagi orang lain. Aturan ini sangat jelas pasal-pasalnya dan mudah diawasi pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam konteks pendidikan antikorupsi, pertanyaannya adalah ketika aturan yang amat jelas untuk keamanan diri sendiri ini dilanggar dan dibiarkan, bagaimana mungkin orang akan menegakkan aturan yang lebih kompleks dan menyangkut kepentingan orang lain, termasuk aturan tentang korupsi?
Tanpa harus mengacu pada hasil penelitian dan teori tertentu, dengan akal sehat saja–tentu saja bagi yang masih sehat akalnya–kita bisa paham bahwa taat pada aturan adalah landasan kukuh bagi kehidupan bermoral, tak terkecuali, kehidupan minus korupsi, suap, dan sejenisnya. Atau kalau mau bukti sederhana tanpa teori muluk-muluk, coba tengok negeri-negeri yang bersih dari korupsi. Ketertiban mereka di jalan raya sungguh luar biasa. Kuncinya hanya satu, penegakan aturan secara konsisten tanpa kompromi. Bagi mereka, aturan adalah aturan yang tidak boleh diatur lagi sesuka hati oleh siapa pun.
Singkat kata, mari kita jadikan tahun 2013 ini sebagai momentum mengukuhkan niat untuk menaati aturan, kapan pun dan di mana pun kita berada sebagai sumbangan gratis kita kepada negeri ini dalam memberantas korupsi. Kalau negeri-negeri tidak ber-Pancasila dan sekuler saja bisa membersihkan diri dari korupsi, seharusnya negeri ini bisa melakukannya lebih cepat dan lebih baik. Selamat menikmati kebahagiaan berwisuda dan ber-dies natalis, katakan tidak pada manipulasi aturan sebagai landasan pemberantasan korupsi. Kita pasti bisa. Karena memang Kita Bisa
Penelitian Kohlberg sampai pada kesimpulan bahwa pada awalnya manusia berbuat baik karena dua kemungkinan alasan: takut dihukum atau ingin mendapatkan penghargaan. Pada tahap berikutnya, manusia berbuat baik karena loyal pada kelompok atau tokoh tertentu. Bila dua tahap tersebut dilewati secara konsisten, pada gilirannya manusia akan berbuat baik, bukan karena takut dihukum atau ingin mendapatkan penghargaan, bukan juga karena meniru kelompok atau tokoh tertentu, melainkan semata-mata karena sadar bahwa kebaikan itu harus dilakukan demi kehidupan bersama yang lebih baik. Singkatnya, hukuman, penghargaan, teladan, dan kajian akademis terhadap nilai moral merupakan alat hierarkis pendidikan moral, termasuk pendidikan antikorupsi.
Bertolak dari kerangka teori hierarki perkembangan moral versi Kohlberg, dapat disimpulkan bahwa korupsi yang merajalela di negeri ini bersumber dari minimnya penegakan aturan secara konsisten sejak dini. Benarkah demikian?
Kalau kita cermati realitas kehidupan sehari-hari, amat mudah ditemukan perilaku melanggar aturan yang dilakukan oleh berbagai pihak di negeri ini. Jalan raya adalah cermin wajah kita dalam hal taat pada aturan. Tidak sulit kita temukan orang tua saat mengantar anaknya ke sekolah memakai mobil, entah mobil berharga milyaran atau puluhan juta rupiah, yang melanggar rambu-rambu lalu lintas, dan tak jarang sambil mengoperasikan telepon. Lalu, bagaimana mungkin orang tua dapat bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya secara konsisten tentang aturan berlalu lintas dan aturan lainnya, kalau ia sendiri mengantar si anak ke sekolah sambil melanggar aturan berlalu lintas?
Masih tentang berkendaraan, di pinggiran kota sangat mudah dijumpai orang tua melatih anaknya yang masih ingusan mengendarai sepeda motor, biasanya tanpa memakai helm dan hasilnya luar biasa. Para orang tua yang tidak bertanggung jawab tersebut sukses besar. Setiap hari libur, jalan-jalan di pinggir kota dipenuhi oleh anak-anak ingusan bersepeda motor, tanpa memakai helm, umumnya berboncengan bisa sampai empat orang dengan kecepatan mencengangkan, ada pula yang sambil mengoperasikan HP.
Aturan berkendaraan di jalan raya adalah aturan untuk kepentingan keamanan diri sendiri, tetapi pelaksanaannya dengan sendirinya akan bermanfaat bagi orang lain. Aturan ini sangat jelas pasal-pasalnya dan mudah diawasi pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam konteks pendidikan antikorupsi, pertanyaannya adalah ketika aturan yang amat jelas untuk keamanan diri sendiri ini dilanggar dan dibiarkan, bagaimana mungkin orang akan menegakkan aturan yang lebih kompleks dan menyangkut kepentingan orang lain, termasuk aturan tentang korupsi?
Tanpa harus mengacu pada hasil penelitian dan teori tertentu, dengan akal sehat saja–tentu saja bagi yang masih sehat akalnya–kita bisa paham bahwa taat pada aturan adalah landasan kukuh bagi kehidupan bermoral, tak terkecuali, kehidupan minus korupsi, suap, dan sejenisnya. Atau kalau mau bukti sederhana tanpa teori muluk-muluk, coba tengok negeri-negeri yang bersih dari korupsi. Ketertiban mereka di jalan raya sungguh luar biasa. Kuncinya hanya satu, penegakan aturan secara konsisten tanpa kompromi. Bagi mereka, aturan adalah aturan yang tidak boleh diatur lagi sesuka hati oleh siapa pun.
Singkat kata, mari kita jadikan tahun 2013 ini sebagai momentum mengukuhkan niat untuk menaati aturan, kapan pun dan di mana pun kita berada sebagai sumbangan gratis kita kepada negeri ini dalam memberantas korupsi. Kalau negeri-negeri tidak ber-Pancasila dan sekuler saja bisa membersihkan diri dari korupsi, seharusnya negeri ini bisa melakukannya lebih cepat dan lebih baik. Selamat menikmati kebahagiaan berwisuda dan ber-dies natalis, katakan tidak pada manipulasi aturan sebagai landasan pemberantasan korupsi. Kita pasti bisa. Karena memang Kita Bisa