Bangsa Bugis Memanusiakan Tamu dengan Tiga Lembar Sarung
Published on: Minggu, 30 Desember 2012 //
Budaya
Sarung dan orang Bugis, sebuah
keniscayaan yang hakiki. Pada banyak tempat, orang yang senantiasa
memakai atau memakai sarung pasti selalu diidentikkan dengan orang
Sulawesi. Kata Sulawesi mewakili suku Bugis, Makassar, Mandar, Toraja,
Tolotang, Kajang serta beberapa sub etnis lainnya di Sulawesi Selatan,
berikut suku dan etnis di wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tengah dan Gorongtalo.
Memakai sarung memang identik dengan mereka, hampir semua aspek kehidupan dan aktifitas keseharian mereka lekat dengan sarung. Sarung dapat mereka pakai untuk acara resmi, semi resmi dan tidak resmi. Sarung dapat mereka pakai di dalam rumah, di luar rumah hingga di tempat umum. Sarung dapat juga mereka pakai untuk tidur, makan, bekerja di ladang, menggarap sawah, beribadah hingga bersenggama.
Seorang rekan penghuni asrama mahasiswa di Yogyakarta lebih memilih memakai sarung untuk mengeringkan badannya setelah mandi dibanding memakai handuk. Baginya dengan memakai sarung, maka “ritual” mandinya terasa lebih sempurna, betul-betul terasa telah mandi karena lembabnya kain sarung akibat resapan air mandi dalam sarung itu membuat kulitnya terus basah. Beda jika memakai handuk, dengan cara melapkan kesukujur tubuh, sehingga air mandi langsung hilang, dan kulitpun kembali kering.
Rekan lainnya yang berjenis kelamin perempuan bertutur, ia lebih merasa lebih aman jika mandi dengan berbalut kain sarung ditubuhnya, dibanding hanya menutupi bagian vitalnya dengan pakaian dalam apalagi tampa penutup sama sekali. Tidak hanya jika ia mandi di tempat terbuka, melainkan juga jika ia dalam kamar mandi sekalipun, meski kamar mandi itu berada dalam kamar pribadinya.
Seorang rekan perempuan lainnya yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Islam Negeri Malang, sebut saja Ike. Saat berkunjung ke Bumi Galesong (Takalar) tahun lalu, ia mengaku terkaget-kaget dengan sambutan tuan rumah. Setelah ia diantar memasuki kamar istirahatnya, tak selang lima menit tuan rumah kembali datang menyodorkan tiga lembar sarung untuknya.
Gamang. Itulah yang dirasakannya saat itu, selain tidak terbiasa memakai sarung, sodoran tiga lembar sarung itu makin membuatnya mati kata. Gamang karena tidak tahu untuk apa sarung sebanyak itu. Ia mati kata, karena enggan bertanya pada tuan rumah, lidahnya keluh.
Melihat latar belakang Ike yang berdarah Maluku dan besar di Malang, maka wajar jika ia gamang. Menjadi tidak wajar jika yang gamang adalah orang Bugis sendiri baik itu yang telah merantau ataupun yang masih berkalang di tanah Sulawesi. Golongan yang disebut terakhir ini semoga tidak terlalu banyak jumlahnya.
Tiga lembar sarung yang disodorkan kepada para tetamu memiliki perbedaan baik dari segi bahan, ukuran dan peruntukan. Tiga sarung tersebut masing-masing sarung untuk tidur, sarung untuk mandi dan sarung untuk shalat (bagi tamu muslim). Sarung ketiga ditambahkan untuk melengkapi 2 jenis sarung sebelumnya seiring dengan diterapkan hukum syariat Islam sebagai bagian dari Pangaderengmasyarakat Bugis (Makassar: Pagadakkang), melengkapi empat komponen hukum adat sebelumnya yakni; adeq, bicara, wari dan rapang.
Sarung tidur (Lipa Tinro), merupakan sarung wajib dan menjadi prioritas utama untuk disodorkan oleh tuan rumah. Sarung ini biasanya berbahan (dominan) benang katun, sehingga kainnya luwes dan dapat dengan mudah melekat jatuh pada bentuk tubuh pemakainya. Motifnya sederhana hanya berupa permainan warna, corak atau berupa motif tumbuhan yang dibuat dengan tehnik cap, batik atau sablon. Sarung ini biasanya bukan hasil tenunan melainkan sarung tekstil (buatan pabrik).
Sarung mandi (Lipa Cemme), memiliki bahan, corak dan motif yang relatif sama dengan sarung tidur. Perbedaan terletak pada warna tampilan yang terlihat lebih kusam dibanding sarung lainnya. Warna kusam yang tampak adalah efek dari seringnya sarung ini dibasahi atau dicuci setiap kali sarung ini dipakai mandi oleh pemakainya. Adakalanya, sarung mandi tidak disodorkan bersamaan dengan dua sarung lainnya, biasanya tuan rumah sudah menempatkan sarung mandi ini didalam kamar mandi, terutama jika kamar mandi tersebut berada dalam ruang tidur tadi (kamar mandi dalam).
Sarung shalat (Lipa Sempajang) adalah satu-satunya sarung yang memiliki bahan, corak dan motif yang biasanya berbeda dengan dua sarung sebelumnya. Kebanyakan sarung ini terbuat dari benang katun dengan tambahan benang plastik sintetis berwarna (Bugis : Gengang) sebagai komponen utama yang memunculkan corak dan motif pada sarung tersebut. Adakalanya pula terbuat dari bahan benang sutera, untuk bahan sutera masih menajadi bahan perdebatan di masyarakat Bugis sendiri. Ajaran agama Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Bugis masih menempatkan keberadaan sarung sutera sebagai persoalan mutasyabihat, ada yang mengharamkan ada yang menghalalkan adapula yang memberi hukum jaiz. Bagi tuan rumah yang mampu, biasanya sarung shalat yang disodorkan adalah hasil tenunan. Bagi yang lain cukup dengan sarung pabrikan, tetapi yang masih baru atau relatif baru.
Diluar tiga sarung tersebut, boleh jadi dalam ruang tidur tamu terdapat tambahan satu sarung lagi. Sarung tersebut adalah sarung senggama. Hanya Anda yang memenuhi syarat berikut yang bisa memakai sarung tersebut. Syarat tersebut adalah; Anda sudah menikah, Anda mampu menahan malu untuk melakukan ritual suami istri tersebut di rumah orang lain dan terakhir Anda harus membawa sendiri sarung tersebut. Lebih lengkap tentang sarung senggama (red). Jika Anda adalah tamu yang tahu diri, maka hindari dan tahanlah untuk melakukan ritual tersebut di rumah orang lain.
Tiga lembar sarung yang disodorkan pada setiap tamu bagi orang Bugis menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk penghormatan dan memanusiakan tamu.
Memakai sarung memang identik dengan mereka, hampir semua aspek kehidupan dan aktifitas keseharian mereka lekat dengan sarung. Sarung dapat mereka pakai untuk acara resmi, semi resmi dan tidak resmi. Sarung dapat mereka pakai di dalam rumah, di luar rumah hingga di tempat umum. Sarung dapat juga mereka pakai untuk tidur, makan, bekerja di ladang, menggarap sawah, beribadah hingga bersenggama.
Seorang rekan penghuni asrama mahasiswa di Yogyakarta lebih memilih memakai sarung untuk mengeringkan badannya setelah mandi dibanding memakai handuk. Baginya dengan memakai sarung, maka “ritual” mandinya terasa lebih sempurna, betul-betul terasa telah mandi karena lembabnya kain sarung akibat resapan air mandi dalam sarung itu membuat kulitnya terus basah. Beda jika memakai handuk, dengan cara melapkan kesukujur tubuh, sehingga air mandi langsung hilang, dan kulitpun kembali kering.
Rekan lainnya yang berjenis kelamin perempuan bertutur, ia lebih merasa lebih aman jika mandi dengan berbalut kain sarung ditubuhnya, dibanding hanya menutupi bagian vitalnya dengan pakaian dalam apalagi tampa penutup sama sekali. Tidak hanya jika ia mandi di tempat terbuka, melainkan juga jika ia dalam kamar mandi sekalipun, meski kamar mandi itu berada dalam kamar pribadinya.
Seorang rekan perempuan lainnya yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Islam Negeri Malang, sebut saja Ike. Saat berkunjung ke Bumi Galesong (Takalar) tahun lalu, ia mengaku terkaget-kaget dengan sambutan tuan rumah. Setelah ia diantar memasuki kamar istirahatnya, tak selang lima menit tuan rumah kembali datang menyodorkan tiga lembar sarung untuknya.
Gamang. Itulah yang dirasakannya saat itu, selain tidak terbiasa memakai sarung, sodoran tiga lembar sarung itu makin membuatnya mati kata. Gamang karena tidak tahu untuk apa sarung sebanyak itu. Ia mati kata, karena enggan bertanya pada tuan rumah, lidahnya keluh.
Melihat latar belakang Ike yang berdarah Maluku dan besar di Malang, maka wajar jika ia gamang. Menjadi tidak wajar jika yang gamang adalah orang Bugis sendiri baik itu yang telah merantau ataupun yang masih berkalang di tanah Sulawesi. Golongan yang disebut terakhir ini semoga tidak terlalu banyak jumlahnya.
Tiga lembar sarung yang disodorkan kepada para tetamu memiliki perbedaan baik dari segi bahan, ukuran dan peruntukan. Tiga sarung tersebut masing-masing sarung untuk tidur, sarung untuk mandi dan sarung untuk shalat (bagi tamu muslim). Sarung ketiga ditambahkan untuk melengkapi 2 jenis sarung sebelumnya seiring dengan diterapkan hukum syariat Islam sebagai bagian dari Pangaderengmasyarakat Bugis (Makassar: Pagadakkang), melengkapi empat komponen hukum adat sebelumnya yakni; adeq, bicara, wari dan rapang.
Sarung tidur (Lipa Tinro), merupakan sarung wajib dan menjadi prioritas utama untuk disodorkan oleh tuan rumah. Sarung ini biasanya berbahan (dominan) benang katun, sehingga kainnya luwes dan dapat dengan mudah melekat jatuh pada bentuk tubuh pemakainya. Motifnya sederhana hanya berupa permainan warna, corak atau berupa motif tumbuhan yang dibuat dengan tehnik cap, batik atau sablon. Sarung ini biasanya bukan hasil tenunan melainkan sarung tekstil (buatan pabrik).
Sarung mandi (Lipa Cemme), memiliki bahan, corak dan motif yang relatif sama dengan sarung tidur. Perbedaan terletak pada warna tampilan yang terlihat lebih kusam dibanding sarung lainnya. Warna kusam yang tampak adalah efek dari seringnya sarung ini dibasahi atau dicuci setiap kali sarung ini dipakai mandi oleh pemakainya. Adakalanya, sarung mandi tidak disodorkan bersamaan dengan dua sarung lainnya, biasanya tuan rumah sudah menempatkan sarung mandi ini didalam kamar mandi, terutama jika kamar mandi tersebut berada dalam ruang tidur tadi (kamar mandi dalam).
Sarung shalat (Lipa Sempajang) adalah satu-satunya sarung yang memiliki bahan, corak dan motif yang biasanya berbeda dengan dua sarung sebelumnya. Kebanyakan sarung ini terbuat dari benang katun dengan tambahan benang plastik sintetis berwarna (Bugis : Gengang) sebagai komponen utama yang memunculkan corak dan motif pada sarung tersebut. Adakalanya pula terbuat dari bahan benang sutera, untuk bahan sutera masih menajadi bahan perdebatan di masyarakat Bugis sendiri. Ajaran agama Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Bugis masih menempatkan keberadaan sarung sutera sebagai persoalan mutasyabihat, ada yang mengharamkan ada yang menghalalkan adapula yang memberi hukum jaiz. Bagi tuan rumah yang mampu, biasanya sarung shalat yang disodorkan adalah hasil tenunan. Bagi yang lain cukup dengan sarung pabrikan, tetapi yang masih baru atau relatif baru.
Diluar tiga sarung tersebut, boleh jadi dalam ruang tidur tamu terdapat tambahan satu sarung lagi. Sarung tersebut adalah sarung senggama. Hanya Anda yang memenuhi syarat berikut yang bisa memakai sarung tersebut. Syarat tersebut adalah; Anda sudah menikah, Anda mampu menahan malu untuk melakukan ritual suami istri tersebut di rumah orang lain dan terakhir Anda harus membawa sendiri sarung tersebut. Lebih lengkap tentang sarung senggama (red). Jika Anda adalah tamu yang tahu diri, maka hindari dan tahanlah untuk melakukan ritual tersebut di rumah orang lain.
Tiga lembar sarung yang disodorkan pada setiap tamu bagi orang Bugis menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk penghormatan dan memanusiakan tamu.
Rajawali Pos Mengucapkan Selamat Natal dan tahun baru 2013